Selasa, 07 April 2009

TUGAS TUTORIAL I

UNIVERSITAS TERBUKA (UT) UPBJJ SEMARANG POKJAR KAB.KUDUS

Mata Kuliah : Pembelajaran Matematika SD
Semester : 8
Masa Ujian : 2009.1
Tutor : Moh. Fatichuddin, S.E, S.Si, M.Eng



Tugas Tutorial I (kerjakan sesuai petunjuk di soal tersebut).

  1. Dalam pembelajaran matematika SD di kenal adanya peta konsep. Coba saudara jelaskan apa itu peta konsep, berikan contoh pada pembelajaran bilangan bulat !
  2. Sebutkan dan jelaskan komponen-komponen proses penyelenggaraan pendidikan ( buat bagan bila perlu) !
  3. Sebutkan dan jelaskan tentang media dalam pembelajaran matematika SD (kaitkan dengan teori-teori yang ada) !
  4. Sebutkan dan jelaskan manfaat dari bahan manipulatif dalam pembelajaran matematika SD, berikan contohnya !

GOODLUCK

Selasa, 03 Maret 2009

Peta Penggunaan Lahan Kab.Semarang

Inovasi Teknologi Supertoy

SAMPAI hari ini kita masih diributkan oleh berita kontroversi tentang adanya benih unggul Supertoy. Banyak ahli yang telah memberi penilaian dari sudut pandang masing-masing, baik dari sisi teknis, ekonomi, kebijakan, maupun yang sudah masuk pada tataran politik.
Benih Supertoy dengan hasil “ngecap” panennya yang mencapai 15 ton per hektare, telah menghipnotis petani. Bagaimana tidak? Sebab, produktivitas padi selama ini hanya berkisar 4-5 ton per hektare.

Supertoy dipandang sebagai hasil dari sebuah inovasi teknologi pertanian, dilakukan oleh seorang warga Kabupaten Bantul bernama Toyung. Inovasi teknologi pertanian adalah teknologi dan kelembagaan agrobisnis unggul mutakhir hasil penemuan atau ciptaan Badan Litbang Pertanian.
Dengan hanya sekali tanam dapat dimanfaatkan untuk tiga kali masa panen.

Peneliti Budi Daya Pertanian UGM Yogyakarta, Djoko Prajitno menilai bahwa klaim hanya perlu sekali tanam untuk tiga kali masa panen itu dengan hanya memotong jeraminya atau dikenal dengan sistem ratooning, akan menyebabkan batang padi menjadi empuk dan mudah ambruk.
Di samping itu, sistem tersebut akan memicu munculnya serangan hama, karena tidak memutus kehidupan hama tersebut.

Supertoy merupakan persilangan antarvarietas Rojolele dan Pandanwangi, dua varietas itu memiliki kekhasan di cita rasa dan aroma yang harum, sehingga tak akan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Hal itu diungkapkan oleh peneliti UGM lainya, Supriyanta.

Sejarah Penelitian


Penelitian sistem usaha pertanian telah dilakukan sejak era 1970an. Pada era itu penelitian ditandai dengan dicanangkannya revolusi hijau (green revolution) berbagai hasil penelitian pola tanam (cropping patterns) diimplementasikan pada lahan petani dengan mengikutsertakan petani sebagai pelaksana.

Pengembangan penelitian didasarkan atas ketersediaan potensi untuk meningkatkan pola tanam berbasis komoditas utama (padi, jagung, dll) secara intensif sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan keluarga tani.

Penelitian itu mendapatkan hasil bahwa hingga lima tanaman dapat ditanam dalam setahun melalui pola tanam berurutan (relay cropping) dengan menggunakan varietas padi unggul berumur pendek dan berbagai komponen teknologi yang dianjurkan. Inovasi teknologi budi daya untuk suatu komoditas (padi) akan berbeda pengaruhnya pada berbagai sistem usaha pertanian yang berbeda, dan petani tidak dapat begitu saja mengganti sistem paket teknologi baru yang telah ada sebelumnya.

Selanjutnya era 1980an, dilaksanakan melalui pendekatan pola tanam berbasis padi berubah menjadi pendekatan sistem usaha pertanian (farming systems) dengan memasukkan komponen dan unit penelitian lain. Tanaman tahunan, ternak, dan ikan, dimasukkan sebagai subsistem dari sistem usaha pertanian.

Penelitian di era 1980-an itu mendapatkan hasil bahwa (1) introduksi itik dalam sistem usah tani dapat meningkatkan dua kali pendapatan petani selama empat bulan pengolahan lahan, (2) introduksi tanaman karet dan ternak (ayam, kambing, dan sapi) dalam sistem usaha pertanian yang ada dapat meningkatkan pendapatan petani tiga kali (Manwan, 1989 dan Adnyana,2000), (3) penerapan varietas baru dengan potensi hasil tinggi untuk kedelai, kacang tanah, jagung, dan sayuran, di wiilayah transmigrasi dapat meningkatkan dua kali pendapatan petani, serta (4) sistem penanaman lorong dapat meningkatkan pendapatan petani sekaligus mengurangi erosi tanah pada lahan marginal dengan topografi berlereng (DAS).

Libatkan Petani

Pada era 1990an, penelitian dilakukan dengan melibatkan petani dan penyuluh pertanian guna percepatan transfer inovasi teknologi kepada pengguna melalui temu lapang.
Studi secara intensif juga dilakukan berkaitan dengan adopsi dan dampak dari penerapan inovasi teknologi. Penelitian dilakukan pada skala lebih luas dengan perspektif sistem usaha tani yang dilaksanakan oleh BPTP.

Berdasarkan pengalaman dari penelitian sebelumnya, penelitian di era 2000-an dilakukan dengan pendekatan sistem dan usaha agrobisnis. Penelitian itu difokuskan tidak hanya pada sistem usaha pertanian (budi daya), tetapi mencakup juga pengembangan industri hulu pertanian, industri hilir pertanian, serta berbagai jasa pendukung.
Hal itu didasari dengan kesadaran bahwa Indonesia belum memiliki kemampuan bersaing di pasar internasional (Sudaryanto dan Adnyana, 2002).

Dari gambaran tersebut, diharapkan dapat menjadi masukan bagi petani untuk berpikir logis dalam rangka peningkatan produktivitasnya disesuaikan dengan kondisi lokal masing-masing, seperti tertulis dalam UU 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman Pasal 6.

Pasal UU itu menekankan, petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya, serta dengan memperhatikan hasil penelitian yang telah dilakukan, jangan menggunakan cara “instan” untuk meningkatkan pendapatannya; meskipun tidak salah, tapi langkah itu cukup berisiko.

Selanjutnya, bagi pihak yang berwenang hendaknya lebih berhati-hati. Pasal 1 UU tentang Sistem Budi Daya Tanaman menyebutkan, sertifikasi adalah proses pemberian sertifikasi benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan, serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.

Pada Pasal 12 UU tersebut ditegaskan, sistem budi daya tanaman varietas sebelum diedarkan terlebih dahulu, dilepas oleh pemerintah. Pada Pasal 13 disebutkan, varietas yang dilepas merupakan benih bina, yang apabila akan diedarkan harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.

Benih bina yang lulus sertifikasi, apabila akan diedarkan wajib diberi label yang ketentuannya mengenai syarat-syarat dan tata cara sertifikasi dan pelabelan benih bina diatur lebih lanjut oleh pemerintah.(68)

– Moh Fatichuddin, staf BPS Kabupaten Semarang.
di muat Suara Merdeka 18 September 2008

Senin, 02 Maret 2009

Kerawanan Pangan Vs Ketersediaan Pangan

Ada empat kabupaten di Jawa Tengah yang diindikasikan mengalami kerawanan pangan yaitu Kabupaten Brebes, Rembang, Wonosobo dan Purworejo. Namun di saat yang sama dilaporkan bahwa Jawa Tengah mengalami surplus Padi, Jagung dan Ubi Kayu, mana yang benar?, itulah pertanyaan ibu wakil Gubernur (Kompas, 20 Februari 2009).

Pernyataan tersebut juga mungkin menjadi pertanyaan bagi masyarakat dan pemerintah daerah dari ke empat kabupaten yang bersangkutan. Kabupaten yang sepertinya ijo royo-royo tetapi ternyata diindikasikan rawan pangan. Kabupaten yang sebagai penghasil pangan, yang mana penduduknya sebagian besar mengandalkan sektor pertanian sebagai tumpuan hidupnya. Pernyataan yang mengherankan sekaligus menakutkan, apalagi kalau kita melihat di televisi bagaimana sebuah negara yang digambarkan mengalami kerawanan pangan, penduduknya kurus tinggal tulang berlapis kulit, anak-anaknya digambarkan kekurangan gizi, mata menjorok ke dalam, kaki hanya tinggal tulang sehingga untuk berdiri ataupun berjalan tak mampu, apalagi untuk belajar tak mungkin.

Namun demikian jika kita telaah lebih lanjut dua pernyataan di atas bisa benar keduanya. Ketahanan pangan rumah tangga menurut rumusan International Congres of Nutrition (ICN) Roma tahun 1992 mendefinisikan bahwa ”Ketahanan pangan rumah tangga (Household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Selanjutnya menurut Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menyebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pencapaian ketahanan pangan tidak hanya dilihat dari sisi ketersediaannya saja tapi juga harus dilihat dari sisi kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam mengakses pangan tersebut. Meminjam istilah dari Maxwell dan Frankenberger (1992) ada dua kelompok indikator yang dapat mengukur pencapaian ketahanan pangan yaitu: indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan, yang mana indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, sumberdaya alam, pasar, pengolahan lahan. Sedangkan akses pangan meliputi strategi dari rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Indikator dampak merupakan cerminan pangan yang dikonsumsi dan seberapa sering mereka mengkonsumsinya, indikator dampak ini juga menggambarkan status gizi dari pangan tersebut. Dalam hal ini, indicator dampak diukur dengan menghitung tingkat konsumsi energi atau protein yang dikonsumsi yang terkandung dalam pangan tersebut misalnya beras, tahu dan tempe. Penghitungan tersebut akan menunjukkan tingkat ketahanan pangan mereka. Salah satu pengklasifikasian ketahanan pangan adalah dengan menggunakan pengukuran status gizi dari individu. Rumah tangga dikatakan rawan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off atau TKE <>

Secara teoritis ada dua bentuk ketidaktahanan pangan/kerawanan pangan (food insecurity) di tingkat rumah tangga yaitu pertama, kerawanan pangan kronis, terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Kedua, kerawaanan pangan akut (transitory) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo, 1995).

Faktor-Faktor Ketahanan Pangan

Dari definisi dan indikator-indikator di atas dapat diuraikan beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi ketahanan pangan suatu wilayah, yaitu:

Ketersediaan Pangan, faktor ketersediaan pangan ini biasanya sangat tergantung pada produksi pangan yang dihasilkan. Pada tahun 2007, Jawa Tengah menghasilkan 8,6 juta ton padi dimana empat kabupaten yang tersebut di atas juga memiliki peran masing-masing yaitu Purworejo 3,3 persen (284 618 ton), Wonosobo 1,81 persen (156 034 ton), Rembang 1,53 persen (132 025 ton) dan Brebes 5,32 persen (458 518 ton). Pada saat yang sama tahun 2007, penduduk kabupaten tersebut adalah Purworejo 719 396 jiwa, Wonosobo 754 447 jiwa, Rembang 572 879 jiwa dan Kabupaten Brebes 1 775 939 jiwa. Dengan asumsi bahwa tingkat konsumsi padi per kapita per tahun adalah 133 kg, maka keempat kabupaten tersebut mengalami surplus padi antara 50 ribu-200 ribu ton. Dari sisi ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi seharusnya kabupaten-kabupaten tersebut telah tahan pangan, namun dekimian angka tersebut belum menjamin bahwa mereka aman dan tahan pangan, karena belum diketahui ada di mana ketersediaan padi tersebut, apakah ada petani, pedagang, industri/penggilingan atau benar-benar ada di rumah tangga konsumen bahkan mungkin sebenarnya padi itu sudah keluar dari kabupaten. Dari sini bisa dikatakan faktor distribusi pangan sangat menentukan kondisi ketahanan pangan, akan tetapi dalam hal ini belum dapat diketahui secara pastinya.

Daya Beli, daya beli merupakan kemampuan seseorang ataupun keluarga dalam membeli atau mendapatkan suatu produk. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII tahun 1998, ketersediaan pangan di suatu keluarga akan sangat tergantung pada pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Kabupaten-kabupaten di atas jika dilihat dari pendapatn per kapitanya pada umumnya berada pada kuadran IV (tipologi Klassen), yang artinya memiliki pendapatan rendah dan pertumbuhan ekonomi yang rendah pula, kecuali Kabupaten Purworejo berada di kuadran II, pendapatan per kapita rendah tetapi pertumbuhan ekonominya tinggi. Dari ukuran ini bisa dikatakan bahwa kabupaten-kabupaten tersebut memiliki daya beli rendah, sehingga dimungkinkan pula dalam pemenuhan kebutuhan pangannya juga rendah. Apalagi jika keberadaan pangannya ternyata sebagian besar sudah keluar dari wilayah kabupaten, yang secara tidak langsung akan menyebabkan tingginya harga pangan yang ada di kabupaten tersebut.

Gizi, gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi sangat berpengaruh pada kemampuan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, semakin bagus gizi yang di konsumsi maka akan semakin baik pula kegaiatan mereka. Secara umum perilaku konsumsi makanan seseorang atau rumah tangga sangat erat dengan wawasan dan cara pandang mereka. Jika ditelusuri, perilaku konsumsi ini akan dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu mereka yang berkaitan dengan pelayanan gizi, umur, golongan etnis, pendidikan, pekerjaan serta informsi gizi yang mereka terima. Kebudayaan juga memberikan nilai sosial pada makanan, karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula yang memeiliki nilai sosial yang rendah.

Dari gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan di atas, menunjukkan bahwa ketahanan pangan bersifat multi dimensi sehingga hendaknya kita bisa secara bijak dalam menentukan kondisi kerawanan pangan tersebut dan akhirnya menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung perbaikan dan peningkatan kondisi ketahanan pangan. (Wallahualam)


SUDAH TAHANKAH PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH

Suara Merdeka tanggal 27 Agustus 2008 memberitakan bahwa pada hari kedua setelah pelantikannya, Gubernur Jawa Tengah Bapak Bibit Waluyo memimpin Rakor Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang seyogyanya dihadiri oleh seluruh kepala daerah dari 35 kabupaten dan kota. Namun dalam rakor tersebut beliau kecewa karena ternyata banyak kepala daerah yang hanya mewakilkan kehadirannya, padahal rakor pangan tersebut sangat penting menurut beliau.
Pangan merupakan kebutuhan primer sehingga secara ekonomi menjadi komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menimbang bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Mengingat pentingnya pangan seperti tertera dalam pertimbangan undang undang tentang pangan tersebut, selanjutnya undang-undang tersebut memberi amanat kepada pemerintah bersama masyarakat untuk bertanggung jawab dalam mewujudkan ketahanan pangan, seperti tertera dalam pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan tersebut, pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (pasal 45 ayat 2 UU No.7 tahun 1996).
Pentingnya sistem ketahanan pangan (Food Security System) dalam menunjang kedaulatan suatu negara tidak diragukan lagi. Tanpa kecukupan pangan, suatu negara tidak bisa beradab dan bermartabat. Bank Dunia mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “akses terhadap kecukupan pangan bagi semua orang pada setiap saat untuk memperoleh tubuh yang sehat dan kehidupan yang aktif”.
Menurut PP RI No.68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja tetapi juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi antar sektor, sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha) merupakan kunci keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.
Lahan pertanian yang merupakan faktor utama dari Food Security System saat ini belum terawat dan terjamin kelestariannya dengan baik. Apabila produksi pertanian diharapkan mampu mengimbangi kebutuhan penduduk yang terus meningkat maka seharusnya luas dan produktivitas lahan pertanian juga terus ditingkatkan. Namun, kenyataan menunjukkan hal lain, lahan sawah yang diandalkan sebagai penghasil bahan pangan utama cenderung menurun luas bakunya akibat konversi ke nonpertanian. Pertanian lahan kering, walaupun konversinya tidak secepat lahan sawah, dalam beberapa dasawarsa terakhir terus mengalami degradasi oleh proses erosi, longsor, pencemaran, kebakaran, dan sebagainya.
Konversi lahan sawah merupakan ancaman yang serius terhadap ketahanan pangan, karena dampaknya bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi di penggunaan lain di luar pertanian sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan sawah. Demikian pula upaya untuk membangun sawah baru di luar jawa tidak dengan sendirinya dapat mengkompensasi kehilangan produksi di jawa, karena diperlukan waktu yang lama untuk membangun persawahan dengan tingkat produktivitas yang tinggi
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996, pada pasal 2 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.
Di PP tersebut juga disebutkan dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan (pasal 4).
PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan (pasal 15).

Ketahanan Pangan Jawa Tengah
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 mencapai 31,8 juta (statistik Indonesia 2006), dengan angka konsumsi beras 133 kilogram per kapita per tahun, maka untuk memenuhi kebutuhan penduduknya dibutuhkan beras 4,2 juta ton. Luas lahan Jawa Tengah yang digunakan untuk tanaman pangan adalah seluas 970,7 ribu hektar atau sekitar 38,7 persen dari luas seluruhnya.
Produksi padi Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 mencapai 8,4 juta ton gabah kering giling atau sekitar 5,7 juta ton beras dengan luas panen mencapai 1,6 juta hektar. Jika dibandingkan dengan kebutuhan berasnya maka Provinsi Jawa Tengah memiliki surplus sekitar 1,3 juta ton beras. Keadaan surplus ini mengindikasikan baiknya ketahanan pangan dan ketersediaan pangan di Jawa Tengah.
Namun demikian keadaan untuk Jawa Tengah, ketahanan pangan yang terjadi belum mampu mencegah terjadinya import beras, seperti terlihat di tabel di bawah. Impor beras dilakukan melalui pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Impor beras Jawa Tengah pada tahun 2005 mencapai angka 1.141 ton.

Peranan sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi JawaTengah selama tahun 2002-2005 mengalami penurunan, terutama di sub sektor pertanian tanaman bahan makanan dari 15,59 persen di Tahun 2002 menjadi 13,37 persen pada tahun 2005. Kegiatan sektor lain yang berbahan baku pertanian tanaman bahan makanan, seperti industri makanan, minuman juga terus mengalami penuruan.

Berdasar hasil penghitungan NTP Provinsi Jawa Tengah, terlihat bahwa ketahanan pangan yang terjadi belum dapat mempertahankan kesejahteraan petani, setalah di tahun 2003 naik dibanding tahun 2002, kemudian menurun di tahun berikutnya, bahkan dari tahun 2003-2005 mengalami penurunan. Jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah berada di urutan ke tiga setelah DIY dan Jawa Barat.

Berdasarkan standar 1996, pada tahun 1998 garis kemiskinan di Jawa Tengah mencapai 32.424 rupiah per kapita per bulan. Jumlah penduduk miskin pada tahun yang sama mencapai 6,4 juta jiwa atau sekitar 21,61 persen dari seluruh penduduk Jawa Tengah.
Pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin bertambah menjadi 8,8 juta atau sekitar 28,46 persen dari total penduduk Jawa Tengah. Garis kemiskinan pada tahun tersebut mencapai 76.579 rupiah per kapita. Jumlah penduduk miskin tahun 2002 menurun menjadi 7,3 juta ( 23,06 persen) dengan batas miskin sebesar 106.438 rupiah perkapita.
Jumlah penduduk miskin tahun 2003 menurun lagi menjadi 6,98 juta (21,78 persen) dengan batas miskin sebesar 119.403 rupiah per kapita. Pada tahun 2004 penduduk miskin naik menjadi 6,8 juta (21,11%) daya batas miskin 126 651 rupiah per kapita.
Dari gambaran yang pernah terjadi dan sudah disebut di atas, masihkah kepala-kepala daerah enggan untuk menghadiri Rakor Ketahanan Pangan di waktu mendatang.

Oleh: Moh Fatichuddin
(BPS Kabupaten Semarang)
di muat Suara Merdeka 2 September 2008

DAMPAK KEBIJAKAN PERTANIAN

Beberapa hari terakhir ini, kita dikejutkan dengan berita bahwa ada sekian banyak susu hasil peternakan di Jawa Tengah di buang sia-sia. Tanggal 19 Januari 2009 Suara Merdeka memberitakan bahwa pada hari minggu (18 januari 2009) sedikitnya 15 ribu liter susu sapi perah dari Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang di buang sia-sia di sungai desa itu. Pada rubrik yang sama, Kuncoro, Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jateng mengungkapkan bahwa pihaknya setiap hari sejak 12 Januari terpaksa membuang 30 ton susu. Selanjutnya pada 21 Januari 2009 Suara Merdeka menuliskan para peternak sapi perah di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, mulai kesulitan mengangsur pinjaman bank, menyusul adanya pembatasan pengiriman susu ke Industri Pengolahan Susu (IPS) di Jakarta dan Cita Nasional di Getasan.
Sangat ironis, pada saat Pemerintah Jawa Tengah terus mendengung-dengungkan ‘Balik Desa Mbangun Desa’ yang merupakan tekad dari Gubernur Bibit Waluyo. Dimana para petani termasuk juga peternak di Jawa Tengah didorong untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun sangat disayangkan, saat peternak telah menghasilkan produktivitas yang lebih baik, ternyata realitas pasar belum siap untuk menerimanya. Pasar menolaknya karena harga dari susu sapi perah peternak lokal lebih mahal dan mutunya lebih rendah dibandingkan dengan susu luar negeri.
Mungkinkah ini akibat dari terputusnya salah satu rangkaian dari suatu kebijakan ataupun perencanaan, dimana seharusnya perencanaan dan kebijakan itu mencakup sisi ‘hulu’ maupun sisi ‘hilir’. Artinya pada saat kebijakan itu menyentuh bagaimana suatu produk dihasilkan, pada saat itu juga kebijakan itu menyiapkan pasar yang akan menampung dari produk tersebut dan ‘jalan’ yang dilewati oleh produk tersebut untuk sampai ke pasar. Dengan tersentuhnya hulu dan hilir dari suatu produk diharapkan kebijakan-kebijakan akan menghasilkan dampak yang lebih baik.

Ada beberapa dampak yang mungkin bisa diidentifikasi dari sebuah kebijakan pertanian (agricultural policy):

Tingkat harga (price effects), dampak dari suatu kebijakan terhadap harga tidak dimaksudkan hanya di salah satu sisi harga saja. Dalam kaitannya dengan susu sapi perah, dampak harga ini tidak hanya pada harga susu sapi perah dari hasil peternak local saja, tetapi juga menyangkut harga dari susu sapi perah yang dihasilkan oleh pihak lainnya. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah (price policy) seharusnya juga berdampak pada harga susu impor, yaitu bisa dengan cara menaikan bea masuk dari susu impor ataupun dengan mengeluarkan regulasi kewajiban pembatasan pemakaian susu dari luar negeri, sehingga dengan kebijakan yang juga menyentuh pada harga susu impor diharapkan dapat melindungi peternak local.

Tingkat produksi (production effects), yang termasuk dalam tingkat produksi disini adalah output dan input. Untuk mengahasilkan output yang baik diperlukan input yang bagus pula. Sehingga untuk menghasilkan susu yang bermutu tinggi diperlukan bibit sapi yang unggul, namun demikian bibit sapi tersebut tetap terjangkau oleh peternak. Selanjutnya dalam proses produksi pemerintah juga tetap ikut intervensi, bentuknya bias dengan penyuluhan-penyuluhan ataupun pelatihan- pelatihan (mechanisation policy), pengembangan teknologi tepat guna (research policy) dan juga dengan pemberian kredit lunak untuk mendapatkan input yang baik (credit policy).

Tingkat konsumsi (consumption effects), dalam tingkat konsumsi ini memuat bagaimana produk pertanian itu dipasarkan (marketing policy). Pasar disini tidak hanya berarti fisik saja yaitu sebuah bangunan pasar dimana produk itu dapat dijual langsung kepada konsumen, tetapi juga memperhatikan bagaiamana produk itu berjalan dari produsen hingga ke konsumen (marketing channels). Produk dari susu sapi perah ini tidak hanya diperuntukan untuk pasar lokal saja, tetapi juga diharapkan dapat menjangkau pasar inter regional, sehingga secara kuantitas jumlah produk susu sapi perah yang terserap dapat lebih banyak. Untuk mencapai pasar inter regional ini susu sapi perah dapat diolah terlabih dahulu menjadi produk makanan lainnya seperti permen, caramel ataupun bentuk makanan lainnya, disinilah mungkin diperlukannya analisis pasar. Dengan kebijakan pasar yang juga menjangkau pasar inter regional ini diharapkan permasalahan pasar dari produk yang dihasilkan dapat diatasi.

Tingkat kesejahteraan (social welfare effects), dengan teridentifikasi terlebih dahulu dampak-dampak di atas, pada akhirnya diharapkan suatu kebijakan akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dari masyarakat, dalam hal ini khususnya peternak. Dampak dari peningkatan kesejahteraan ini akan menghasilkan pencegahan lahirnya kemiskinan baru dan diharapkan juga dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
Dengan kondisi susu sapi perah saat ini, belum terlambat bagi pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam kaitannya dengan implementasi ‘bali desa mbangun desa’ untuk menghasilkan suatu kebijakan yang melindungi peternak sapi perah.

Oleh: Moh. Fatichuddin
BPS Kabupaten Semarang

LAND REFORM DAN PETANI DI JAWA TENGAH (Menyambut Hari Tanah 24 September 2008)

Tanggal 24 September merupakan hari yang bersejarah bagi, petani Indonesia, karena tanggal tersebut diperingati sebagai hari tanah atau hari petani, dimana pada tahun ini menginjak tahun ke 48. Pada tanggal 24 September 1960 Pemerintah Presiden Soekarno dengan persetujuan DPR Gotong Royong mengesahkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Pasal 7 UU No.50 tahun 1960 menyebutkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan, Namur demikian, apakah di lapangan terjadi seperti disebutkan dalam pasal tersebut. Joko Riyanto (2007) mengungkapkan bahwa masalah terbesar agraria saat ini adalah : 1) ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antar kelompok social ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya. 2) Ketidakadilan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah. 3) Ketidakadilan dalam pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam.
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah).

Teori Alokasi Lahan
Penggunaan lahan merupakan resultante dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan keputusan perorangan, kelompok, ataupun pemerintah.
Secara teoritis, sejauhmana efisiensi alokasi sumberdaya lahan dapat dicapai melalui mekanisme pasar itu akan tergantung apakah hak pemilikan (ownership) dapat mengontrol himpunan karakteristik sumberdaya lahan. Himpunan karakteristik ini antara lain adalah : eksternalitas, inkompatibilitas antar alternatif penggunaan, ongkos transaksi, economies of scale, aspek pemerataan, dan keadilan.
Pemerintah memegang peran kunci dalam alokasi lahan, dengan sangat strategisnya fungsi dan peran lahan dalam kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) maka pemerintah mempunyai legitimasi kuat untuk mengatur kepemilikan/penguasaan lahan. Peran pemerintah dalam alokasi lahan sumberdaya lahan dapat berupa kebijakan yang tidak langsung seperti pajak, zonasi (zoning). Peranan pemerintah ini dijalankan melalui sistem perencanaan wilayah (tata guna) yang ditujukan untuk:
1) menyediakan sumberdaya lahan untuk kepentingan umum,
2) meningkatkan keserasian antar jenis penggunaan lahan, dan
3) melindungi hak milik melalui pembatasan aktivitas-aktivitas yang membahayakan.
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu (1) pengunaan lahan pertanian dan (2) penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur lahan, lereng permukaan lahan, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi.
Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah rekreasi (Suparmoko, 1995). Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor ekonomi dan faktor institusi. aktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, lahan, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi meliputi keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.
Profil Rumah Tangga Tani Jawa Tengah
Dari hasil Sensus Pertanian 2003 (ST’03), diketahui bahwa selama kurun waktu 10 tahun terakhir, rumah tangga tani di Jawa Tengah bertambah dari 3,6 juta pada tahun 1993 menjadi 4,3 juta pada tahun 2003 dengan rata rata luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga tani seluas 0,4 Ha (inilah yang disebut petani gurem), yang berarti meningkat sebesar 1,69 persen per tahunnya. Laju pertumbuhan ini lebih rendah dibanding peningkatan secara nasional yang rata-rata sebesar 1,79 persen per tahunnya.
Dengan penambahan jumlah rumah tanggga tani yang cukup besar, seyogyanya ada penambahan lahan yang sebanding dan dapat digunakan sebagai lahan garapan. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, yang diakibatkan adanya konversi lahan pertanian ke penggunaan lain.
Keberadaan rumah tangga tani Jawa Tengah terhadap total petani di Indonesia tidak berubah selama sepuluh tahun terakhir, yaitu sebesar 17,14 persen. Posisi ini berada di urutan ke dua terbesar setelah Propinsi Jawa Timur yang mencapai 19,45 persen.
Apabila dibandingkan dengan rumah tangga yang menggantungkan mata pencahariannya di sektor lainnya, sektor pertanian masih menjadi yang terbanyak (52,12 persen), belum lagi ditambah dengan rumah tangga yang bekerja sebagai buruh tani, yang jumlahnya mencapai 2,7 juta rumah tangga.

Rumah Tangga Tani Gurem
Salah satu dampak dari ketimpangan laju pertambahan rumah tangga petani pengguna lahan yang cukup pesat dengan semakin berkurangnya lahan pertanian, adalah bertambah banyaknya rumah tangga petani gurem. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat 2,42 persen per tahunnya, yaitu dari 2,45 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 3,11 juta pada tahun 2003, yang mana kenaikan persentase rumah tangga petani gurem di Jawa Tengah relatif lebih cepat dibanding Jawa maupun secara nasional. Dengan luasan lahan yang sangat terbatas, menjadikan petani gurem berusaha untuk memaksimalkan luasan lahan yang ada untuk mendapatkan hasil yang optimal
Setengah dari rumah tangga petani gurem benar-benar hanya mengandalkan lahan pertanian yang dikuasai saja tanpa menambah jenis pekerjaan lain. Hal ini dimungkinkan oleh karena sudah merasa cukup sehingga tidak perlu lagi mencari tambahan penghasilan, atau adanya keterbatasan kemampuan yang tidak memungkinkan lagi bekerja selain sebagai petani gurem. Alternatif kedua tentunya merupakan kondisi terburuk dan dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan, sehingga perlu adanya solusi yang tepat untuk penanganannya.
Dari gambaran kondisi petani Jawa Tengah di atas, diharapkan ada perhatian dari pihak yang berwenang, sehingga dimungkinkan dapat dilakukan land reform (pembaruan agraria) yang berpihak kepada petani, yang akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Oleh : Moh Fatichuddin
(BPS Kabupaten Semarang)