Senin, 02 Maret 2009

LAND REFORM DAN PETANI DI JAWA TENGAH (Menyambut Hari Tanah 24 September 2008)

Tanggal 24 September merupakan hari yang bersejarah bagi, petani Indonesia, karena tanggal tersebut diperingati sebagai hari tanah atau hari petani, dimana pada tahun ini menginjak tahun ke 48. Pada tanggal 24 September 1960 Pemerintah Presiden Soekarno dengan persetujuan DPR Gotong Royong mengesahkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Pasal 7 UU No.50 tahun 1960 menyebutkan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan, Namur demikian, apakah di lapangan terjadi seperti disebutkan dalam pasal tersebut. Joko Riyanto (2007) mengungkapkan bahwa masalah terbesar agraria saat ini adalah : 1) ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antar kelompok social ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya. 2) Ketidakadilan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah. 3) Ketidakadilan dalam pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam.
Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah).

Teori Alokasi Lahan
Penggunaan lahan merupakan resultante dari interaksi berbagai macam faktor yang menentukan keputusan perorangan, kelompok, ataupun pemerintah.
Secara teoritis, sejauhmana efisiensi alokasi sumberdaya lahan dapat dicapai melalui mekanisme pasar itu akan tergantung apakah hak pemilikan (ownership) dapat mengontrol himpunan karakteristik sumberdaya lahan. Himpunan karakteristik ini antara lain adalah : eksternalitas, inkompatibilitas antar alternatif penggunaan, ongkos transaksi, economies of scale, aspek pemerataan, dan keadilan.
Pemerintah memegang peran kunci dalam alokasi lahan, dengan sangat strategisnya fungsi dan peran lahan dalam kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) maka pemerintah mempunyai legitimasi kuat untuk mengatur kepemilikan/penguasaan lahan. Peran pemerintah dalam alokasi lahan sumberdaya lahan dapat berupa kebijakan yang tidak langsung seperti pajak, zonasi (zoning). Peranan pemerintah ini dijalankan melalui sistem perencanaan wilayah (tata guna) yang ditujukan untuk:
1) menyediakan sumberdaya lahan untuk kepentingan umum,
2) meningkatkan keserasian antar jenis penggunaan lahan, dan
3) melindungi hak milik melalui pembatasan aktivitas-aktivitas yang membahayakan.
Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu (1) pengunaan lahan pertanian dan (2) penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur lahan, lereng permukaan lahan, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi.
Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah rekreasi (Suparmoko, 1995). Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor ekonomi dan faktor institusi. aktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, lahan, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi meliputi keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.
Profil Rumah Tangga Tani Jawa Tengah
Dari hasil Sensus Pertanian 2003 (ST’03), diketahui bahwa selama kurun waktu 10 tahun terakhir, rumah tangga tani di Jawa Tengah bertambah dari 3,6 juta pada tahun 1993 menjadi 4,3 juta pada tahun 2003 dengan rata rata luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga tani seluas 0,4 Ha (inilah yang disebut petani gurem), yang berarti meningkat sebesar 1,69 persen per tahunnya. Laju pertumbuhan ini lebih rendah dibanding peningkatan secara nasional yang rata-rata sebesar 1,79 persen per tahunnya.
Dengan penambahan jumlah rumah tanggga tani yang cukup besar, seyogyanya ada penambahan lahan yang sebanding dan dapat digunakan sebagai lahan garapan. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, yang diakibatkan adanya konversi lahan pertanian ke penggunaan lain.
Keberadaan rumah tangga tani Jawa Tengah terhadap total petani di Indonesia tidak berubah selama sepuluh tahun terakhir, yaitu sebesar 17,14 persen. Posisi ini berada di urutan ke dua terbesar setelah Propinsi Jawa Timur yang mencapai 19,45 persen.
Apabila dibandingkan dengan rumah tangga yang menggantungkan mata pencahariannya di sektor lainnya, sektor pertanian masih menjadi yang terbanyak (52,12 persen), belum lagi ditambah dengan rumah tangga yang bekerja sebagai buruh tani, yang jumlahnya mencapai 2,7 juta rumah tangga.

Rumah Tangga Tani Gurem
Salah satu dampak dari ketimpangan laju pertambahan rumah tangga petani pengguna lahan yang cukup pesat dengan semakin berkurangnya lahan pertanian, adalah bertambah banyaknya rumah tangga petani gurem. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat 2,42 persen per tahunnya, yaitu dari 2,45 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 3,11 juta pada tahun 2003, yang mana kenaikan persentase rumah tangga petani gurem di Jawa Tengah relatif lebih cepat dibanding Jawa maupun secara nasional. Dengan luasan lahan yang sangat terbatas, menjadikan petani gurem berusaha untuk memaksimalkan luasan lahan yang ada untuk mendapatkan hasil yang optimal
Setengah dari rumah tangga petani gurem benar-benar hanya mengandalkan lahan pertanian yang dikuasai saja tanpa menambah jenis pekerjaan lain. Hal ini dimungkinkan oleh karena sudah merasa cukup sehingga tidak perlu lagi mencari tambahan penghasilan, atau adanya keterbatasan kemampuan yang tidak memungkinkan lagi bekerja selain sebagai petani gurem. Alternatif kedua tentunya merupakan kondisi terburuk dan dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan, sehingga perlu adanya solusi yang tepat untuk penanganannya.
Dari gambaran kondisi petani Jawa Tengah di atas, diharapkan ada perhatian dari pihak yang berwenang, sehingga dimungkinkan dapat dilakukan land reform (pembaruan agraria) yang berpihak kepada petani, yang akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Oleh : Moh Fatichuddin
(BPS Kabupaten Semarang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar